إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللَّهُمَّ صّلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنْ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Jama’ah shalat jum’at yang berbahagia
Kondisi dunia yang semakin mengglobal, mengakibatkan perembesan budaya antar bangsa di dunia tidak terelakkan lagi. Termasuk di dalamnya ideologi dan gaya hidup manusia yang sudah tidak dapat dibedakan lagi antara suatu bangsa dengan bangsa lain dan pemeluk suatu agama dengan pemeluk agama lain. Hal ini merupakan bukti bahwa telah terjadi pergeseran gaya hidup umat manusia yang semula berorientasi pada masalah diniyyah, ideologis menjadi madiyyah, bendawi, hedonis dan sekuler.
Standar kesuksesan seseorang diukur dengan seberapa banyak seseorang menguasai harta kekayaan dengan tanpa melihat asal harta tersebut didapat. Standar halal atau haram seolah bukan merupakan masalah utama. Sebuah ungkapan yang sering terdengar adalah, “mencari yang haram saja susah apalagi yang halal”, walaupun disampaikan dengan nada bercanda, akan tetapi paling tidak hal tersebut merupakan cermin perilaku hedonistik dan materialistik sebagai gaya hidup yang sedang menjadi tren di zaman ini. Padahal paham hedonisme sendiri sebenarnya merupakan paham yang sudah usang.
Di dalam Al-Qur’an, kalimat yang semakna dengan hedonisme adalah At Takatsur. Allah ta’ala berfirman ;
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” [QS. At Takatsur : 1].
Pada catatan kaki cetakan DEPAG disebutkan, “bermegah-megahan dalam perihal anak, harta, pengikut, kemuliaan dan seumpamanya.”
Al-Qur’an telah memperingatkan umat manusia agar senantiasa waspada terhadap penyakit ini dengan sangat keras. Ancaman siksaan yang amat pedih, baik ketika berada di alam barzakh maupun di alam akhirat kelak. Hal ini terlihat jelas bahwa maksud dari firman Allah, “Alhaakumuttakatsur” adalah wa’id atau ancaman terhadap orang-orang yang selama hidupnya hanya sibuk mengurusi urusan-urusan duniawi sampai mereka masuk ke liang lahat sedang mereka tidak sempat bertaubat.
Gaya hidup materialistis tanda dekatnya kiamat
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan tetang ciri masyarakat di akhir zaman. Yaitu masyarakat yang berlomba lomba dalam menunpuk dunia dan hidup serba materialistis dan hedeonis.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Dalam hadist, Dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurthubi, telah meriwayatkan kepadaku seseorang yang mendengar dari Ali bin Abi Thalib ra, “Kami sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam masjid. Tiba-tiba datang Mus’ab bin Umair r.a memakai baju sederhana bertambal kulit. Ketika Rasulullah melihatnya, beliau mengenangkan kemewahan Mus’ab dahulu dibanding sekarang. Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
« كَيْفَ بِكُمْ إِذَا غَدَا أَحَدُكُمْ فِى حُلَّةٍ وَرَاحَ فِى حُلَّةٍ وَوُضِعَتْ بَيْنَ يَدَيْهِ صَحْفَةٌ وَرُفِعَتْ أُخْرَى وَسَتَرْتُمْ بُيُوتَكُمْ كَمَا تُسْتَرُ الْكَعْبَةُ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مِنَّا الْيَوْمَ نَتَفَرَّغُ لِلْعِبَادَةِ وَنُكْفَى الْمُؤْنَةَ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لأَنْتُمُ الْيَوْمَ خَيْرٌ مِنْكُمْ يَوْمَئِذٍ ».
“Bagaimanakah keadaan kalian pada suatu hari ketika kalian pergi di waktu pagi dengan satu pakaian, dan pergi di waktu petang dengan pakaian yang lain. Dan bila diberikan satu hidangan, diletakkan pula satu hidangan yang lain. Dan kamu menutupi (menghias) rumah kamu sebagaimana kamu memasang kelambu Ka’bah?” Shahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, tentunya keadaan kami di waktu itu lebih baik dari pada keadaan kami di hari ini. Kami akan memberikan perhatian sepenuhnya kepada masalah ibadah saja dan tidak bersusah payah lagi untuk mencari rezeki.” Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak! Keadaan kamu hari ini adalah lebih baik daripada keadaan kamu pada hari tersebut.“ (HR. Tirmizi).
Menurut Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi, hadits ini statusnya dhaif (lemah) dan tidak bisa dijadikan landasan. Meskipun Imam at Tirmidzi menyatakan bahwa hadits ini statusnya hasan. Di dalam as Silsilah ash Shahihah, Syaikh al-Albani memaparkan hadits riwayat Imam al-Baihaqi yang maknanya kurang lebih sama dengan hadits ini dan beliau menyatakan sanadnya shahih. Bunyi hadits tersebut adalah :
أَنْتُمُ الْيَوْمَ خَيْرٌ أَمْ إِذَا غَدَتْ عَلَيْكُمْ قَصْعَةٌ وَرَاحَتْ أُخْرَى وَيَغْدُو أَحَدُكُمْ فِى حُلَّةٍ وَيَرُوحُ فِى أُخْرَى وَتَسْتُرُونَ بُيُوتَكُمْ كَمَا تُسْتَرُ الْكَعْبَةُ
“Kalian hari ini lebih baik, ataukah orang-orang di zaman yang akan datang yang pagi makan suatu hidangan dan sore makan hidangan yang lain. Pagi berangkat dengan satu pakaian dan sore dengan pakaian yang lain, serta menutupi rumah seperti memberi kiswah pada Ka’bah?”
Jika kita renungi, riwayat dalam hadits ini benar-benar menggambarkan kondisi akhir zaman secara tepat. Ada sebuah perbandingan yang ironis antara zaman Rasulullah dan umat akhir zaman, kita termasuk di dalamnya. Yakni dalam pengaruh kesejahteraan dengan semangat dan kualitas ibadah.
Sidang shalat jum’at yang dimulyakan Allah ta’ala
Cobalah amati respon shahabat ketika Rasulullah memaparkan kondisi masa depan yang sejahtera dengan gambaran; pagi sore beda makanan dan pakaian. Menurut shahabat, dalam kondisi yang sedemikian sejahtera, aktifitas apalagi yang akan dilakukan selain fokus beribadah dan menambah kuantitasnya?. Menurut persepsi mereka, kesejahteraan itu akan paralel dengan fokus dan semangat ibadah. Semakin sejahtera, semakin semangatlah ibadahnya. Sebaliknya, semakin rendah taraf kesejahteraan, semakin rendah pulalah fokus dan semangat ibadah karena harus terbagi dengan fokus lain, memenuhi kebutuhan. Tetapi kenyataannya, semakin kaya semakin glamor. Semakin kaya semakin sibuk dengan pekerjaan dan lalai untuk beribadah.
Dunia telah dibukakan Allah pada kita semua. Dimana saat kita duduk di meja makan, maka seorang pembantu akan membawa mangkok mangkok makanan yang semuanya berisi makanan. Seseorang pergi dengan perhiasaan dan pulang dengan pakaian lainnya. Atau dengan istilah ada pakaian untuk pergi dan ada pakaian untuk pulang. Sementara kaum muslimin melapisi dinding mereka dengan kain sebagaimana ka’bah. Intinya, kehidupan mewah boros dan manja sudah kita rasakan.
Hadis-hadis diatas menjelaskan bagaimana keadaan manusia diakhir zaman, ketika Allah membukakan dunia untuk manusia, maka kita menyaksikan bagaimana rumah, gedung, technology, communication dan perkembangan yang semakin canggih hanya dalam hitungan bulan. Namun keadaan itu bukannya membuat iman kita semakin bertambah, tetapi sebaliknya membuat manusia menjauh dari Allah ta’ala.
Jama’ah shalat jum’at yang dimulyakan Allah ta’ala
Solusinya
Meski gaya hidup hedeonis dan galmor ummat hari ini telah digambarkan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, tetapi tentu kita tidak akan ikut dengan kondisi zaman. Kita harus ingat bahwa hidup ini adalah perjuangan dan bukan untuk bernikmat nikmat. Bukankah Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda ;
إِيَّكَ وَ التَّنَعُّمْ فَإِنَّ عِبَادَ اللهِ لَيْسُواْ بِالْمُتَنَعِّمِيْنَ
“Hendaklah engkau jauhi bernikmat nikmat. Karena hamba Allah itu bukanlah mereka yang bernikmat nikmat”. [As silsilah as shahihah 1/621].
Kita juga harus ingat bahwa seluruh kenikmatan yang kita rasakan akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat. Allah ta’ala berfirman ;
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” [ At Takatsur : 8 ].
Dan ingatlah bahwa orang orang yang manja dalam kehidupan ini akan menjadi orang orang yang lemah saat ujian datang menerpa. Tidak kuat mengemban berbagai beban beban dakwah dan penegakan agama ini. Tidak mampu bersabar pada kondisi kondisi yang berat.
Hadirin jamaah Jum’at rahimakumullah.
Setiap orang akan ditanya berbagai macam nikmat yang mereka rasakan di dunia. Apakah mereka benar-benar telah bersyukur atas nikmat tersebut? Apakah benar mereka telah menunaikan hak Allah? Apakah mereka benar tidak menggunakan nikmat tersebut untuk maksiat? Jika benar, maka mereka akan diberi nikmat yang lebih lagi dari yang sebelumnya.
Ataukah mereka jadi orang yang terperdaya dengan nikmat? Atau mungkin mereka gunakan dalam maksiat? Jika demikian, tentu kelak mereka akan dibalas dengan siksa yang pedih. Allah Ta’ala berfirman,
وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُونَ
“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri d muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik.” (QS. Al Ahqaf: 20).
Semoga kita diistiqamahkan di jalan kebenaran dan diselamatkan dari berbagai fitnah akhir zaman. Tidak ada daya dan kekauatan kecuali milik Allah ta’ala.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ.
Khotbah kedua;
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَمَّا بَعْدُ؛
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئَكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ أَجْمَعِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.