Hak dan Kewajiban Suami menurut Islam
Pernikahan adalah sebuah proses panjang yang bisa jadi berlangsung seumur hidup. Sehingga ia memerlukan komitmen untuk saling mendukung dalam kebaikan demi terwujudnya cita-cita pernikahan. Setelah menentukan visi dan misi pernikahan, penunaian hak dan kewajiban adalah hal paling mendasar yang penting dilaksanakan demi tercapainya keluarga yang sakinah
Keseimbangan Hak dan Kewajiban
Antara penunaian hak dan pemenuhan kewajiban suami dan istri harus dilaksanakan secara tepat, proporsional, bertanggung-jawab dan berimbang. Allah Ta’ala telah memperingatkan,
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ, الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ, وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ.
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) mereka yang jika menerima takaran dari orang lain minta dipenuhi, dan apabila menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (Al-Muthafifin : 1-3)
Tidak selayaknya berharap pasangan memenuhi kewajibannya, namun hak-hak-nya tidak dipenuhi. Atau dengan kata lain hanya menuntut haknya dipenuhi secara penuh dan sempurna, namun melalaikan kewajibannya.
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ البقرة
“Dan bagi para istri ada hak yang seimbang dengan kewajiban mereka secara ma´ruf.” (Al-Baqarah : 228)
Maka, alangkah baiknya bila setiap orang dalam rumah-tangganya masing-masing bersungguh-sungguh dalam memenuhi hak pasangannya atau dengan kata lain ‘fastabiqul khoirot’ (berlomba dalam kebaikan) dengan mengharapkan ridla Robb-nya. Bila Allah telah ridla, maka keberkahan keluarga akan bisa diraih.
Hak Suami atas Istrinya
Secara garis besar, apa yang menjadi kewajiban suami adalah hak istri. Begitupun sebaliknya apa yang menjadi hak suami merupakan kewajiban istri yang harus ditunaikan. Hak suami secara global setidaknya termuat dalam firman Allah,
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ
“.. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).. (An-Nisa : 34)
Tamim Ad-Dari meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah n bersabda, “Hak suami atas istrinya; ia tidak boleh meninggalkan tempat tidur suami, harus menerima dengan baik bagian yang diberikan suami, mentaati perintahnya, tidak keluar rumah kecuali atas izinnya, dan tidak memasukkan (orang) yang tidak disukai suami.” (HR. Imam Thabrani)
Seorang suami mendapatkan privilege berupa ketaatan istri selama tidak mengandung maksiat. Manakala seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidur, istri tidak berhak menolaknya kecuali dengan alasan yang dibenarkan seperti : haidh, nifas atau penyakit yang karenanya tidak memungkinkan melakukan aktifitas seksual. Bahkan jika ia menolaknya akan membuat penduduk langit marah. Ia juga berhak mendapatkan izin istrinya jika sang istri akan menjalankan puasa sunnah.
Tidak hanya mentaatinya tapi juga sejuk mata suami memandangnya. Seorang wanita yang memelihara kemuliaannya, mengurus hartanya, menjaga kehormatan diri dan rahasia keluarganya serta mendidik anak-anaknya dengan kesabaran. Adapun diantara kewajiban suami adalah sebagai berikut,
- Nafkah
Suami berkewajiban menafkahi istrinya sebagai atsar (konsekuensi) dari akad nikah.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An Nisa’ : 34)
Nafkah yang diberikan suami kepada istrinya, meliputi sandang, pangan dan tempat tinggal sesuai dengan kemampuannya. Allah Ta’ala berfirman.
ليُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ …
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya... (At-Thalaq : 7)
Rasulullah n diantaranya memberikan sebagian rumusan, “Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian ...” (HR. Abu Daud no. 2142).
- Mu’asyarah bil Ma’ruf
Keluarga merupakan sebuah organisasi kecil yang memiliki aturan dalam pengelolaannya. Karena itu, antara keduanya harus memperlakukan, mempergauli, menjaga dan merawat pasangannya secara ma’ruf. Sebagaimana perintah Allah Ta’ala,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan pergaulilah mereka secara patut! Jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisaa’ : 19)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,“Maknanya, perbaguslah ucapan kalian kepada istri-istri kalian, dan perindahlah perilaku dan penampilan kalian semampu kalian, sebagaimana kalian pun ingin diperlakukan demikian maka perlakukanlah mereka seperti itu.
Apabila para istri menaati Allah Ta’ala dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/ menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya. (Tafsir Ath-Thabari, jil. 2, hal. 466).
Sehingga tidak dibenarkan seorang suami melakukan kesewenang-wenangan terhadap istrinya. Sebagaimna peringatan Rasulullah n,
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr (mendiamkan istri) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142).
- Ri’ayah, Himayah dan Ishlah
Sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangganya, suami harus qowwam, yakni memiliki sifat ri’ayah (memberikan perhatian dan dukungan), himayah (memberikan perlindungan) dan ishlah (melakukan perbaikan dan pendidikan).
Ia berkewajiban mengatur dan menegakkan urusan-urusan wanita, memberikan nafkah lahir dan batin serta perlindungan baik fisik maupun hatinya. Termasuk menyediakan waktu untuk mendengar curhatannya. Sebagai kepala rumah tangga ia harus mampu mendedikasikan sebagian waktunya untuk keluarga. Ia hendaknya juga tidak enggan berhias diri dan menjaga kebersihan di hadapan istri, sebagaimana suami pun menginginkan demikian pada istrinya.
Manakala istri melakukan kesalahan, ia meluruskannya dengan cara yang ma’ruf dan adil serta tidak mempersoalkan kesalahan-kesalahan kecil. Karena mustahil berharap istri seratus persen bisa memenuhi sebagaimana yang suami inginkan. Maka hendaknya ia bersabar dan tetap terus menasehatinya dengan cara yang baik. Dari Abu Hurairah, Rasulullah n bersabda,
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika si pria tidak menyukai suatu akhlak pada si wanita, maka hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridhoi” (HR. Muslim no. 1469).
Diantara perlindungan suami kepadanya adalah menjaga aib istri dan rahasia rumah-tangganya seraya mengedepankan prasangka baik. Kewajiban suami yang lain adalah memberikan istri kesempatan untuk menghadiri shalat jama’ah selama keluar dengan hijab dan menghadiri majlis ilmu selama suami tidak mampu memberikannya. Wallahua’lam.
Ibnul Jauzi mengatakan, “Tidaklah ada dalam beban syariat ini sesuatu yang lebih susah daripada bersabar menghadapi ketetapan, dan tidak ada sesuatu di dalamnya yang lebih utama daripada bersikap ridha terhadapnya.” (Shaidul Kathir).