RIZKIMU BERADA DI LANGIT
Sahabat oase yang budiman, seorang mukmin meyakini bahwa dirinya tidak akan diterlantarkan oleh Rabbnya, karena Dialah Rabb pencipta semesta alam akan senantiasa memberikan yang terbaik kepada hambaNya yang beriman. Kehidupan seoarang mukmin akan senantiasa menakjubkan, ujian yang menghiasi kehidupannya akan senantiasa menjadi kebaikan jika dia bisa menyambutnya dengan cara yang sesuai dengan syariat Allah.
Dalam hal rezeki, seorang yang beriman meyakini bahwa rezeki adalah segala sesuatu dari Allah Subhanahuwata’ala yang bermanfaat dan yang dihalalkan; bisa berupa uang, makanan, pakaian, hingga pasangan yang saling menentramkan. Seorang mukmin juga meyakini bahwa keturunan yang shaleh dan shalehah serta nikmat sehat, pendengaran, penglihatan dan lain sebagainya merupakan rezeki yang datang dari Allah Subhanahuwata’ala. Kenikmatan-keni’matan tersebut wajib untuk kita syukuri.
Allah berfirman dalam QS. Adz Dzariyat: 22 yang berbunyi:
وَفِى ٱلسَّمَآءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.
Ayat ini menjelaskan bahwa di langit terdapat sebab-sebab rezeki bagi manusia seperti turunnya hujan yang menyebabkan datangnya kesuburan tanah pertanian dan perkebunan yang menghasilkan berbagai hasil bumi dan buah-buahan sebagai rezeki bagi manusia dan ternak piaraannya, dan terdapat pula apa yang dijanjikan Allah untuk manusia yaitu takdir penetapan Allah terhadap manusia itu masing-masing yang semuanya ditulis di Lauh Mahfudz.
Sahabat oase yang budiman, setiap kita hendaknya meyakini bahwa di langit terdapat sebab-sebab rezeki kita dan di langit terdapat pula apa yang dijanjikan kepada Allah kepada kita semua sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahuwata’ala di atas.
Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa Wasil Al-Ahdab membaca ayat berikut, yaitu firman Allah Subhanahuwata’ala: “Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu”.(QS. Adz-Dzariyat : 22), Lalu Wasil Al-Ahdab berkata: “Mengapa kalau rezekiku berada di langit, lalu aku mencarinya di bumi?” Maka ia memasuki sebuah tanah kosong dan tinggal padanya selama tiga hari tanpa menjumpai suatu makanan pun. Dan pada hari yang ketiganya, tiba-tiba ia menjumpai sekeranjang buah kurma. Tersebutlah pula bahwa dia mempunyai seorang saudara laki-laki yang lebih baik niatnya daripada dia, lalu saudaranya itu ikut masuk bersamanya di tanah kosong itu, sehingga keranjang kurmanya ada dua. Demikianlah kehidupan keduanya terus-menerus hingga keduanya dipisahkan oleh kematian.
Dengan keyakinan tersebut mestinya bisa mendorong kita menuju peribadahan hanya kepada Allah semata tidak kepada selainNya. Karena hal tersebut termasuk dalam dosa besar yang mengundang murkaNya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Rum : 40 di bawah ini.
اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْۗ هَلْ مِنْ شُرَكَاۤىِٕكُمْ مَّنْ يَّفْعَلُ مِنْ ذٰلِكُمْ مِّنْ شَيْءٍۗ سُبْحٰنَه وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
Artinya: “Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberikanmu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.”
Dialah Allah yang tidak ada yang berhak disembah selainNya, yang telah menciptakan alam semesta termasuk kita semua, dan Dialah yang mengatur segalanya. Rezeki dibagi oleh Allah sesaui dengan ketentuan dan rahasiaNya. Sudah selayaknya kita hanya beribadah kepadaNya dan tidak menduakanNya (syirik) dalam beribadah.
Walaupun kita meyakini bahwa Allah Subhanahuwata’ala adalah Zat yang Maha Memberi Rezeki dan rezeki itu tidak mungkin salah alamat, bukan berarti kita pasrah dan bermalas-malasan dalam menyambut rezeki tersebut, melainkan harus berusaha sekuat tenaga untuk mencarinya. Hal tersebut sama keadaannya sebagaimana Ketika kita lapar maka akal nalar manusia akan berusaha mencari makan, bukan berpangku tangan pasrah menunggu makanan datang dengan menahan rasa lapar tersebut. Mencari makanan adalah naluri manusiawi sebagaimana ikhtiar bekerja untuk mendapatkan rezeki juga demikian.
Allah befirman dalam QS. Al Jumu’ah : 10, yang artinya: “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” Menurut tafsir Ar-Razi, perintah Allah agar manusia bertebaran di muka bumi setelah salat bermakna mencari rezeki atau menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai. Tafsir Ar-Razi juga menambahkan bahwa alangkah baiknya setelah selesai salat (salat Jum’at), kita tidak beristirahat di dalam masjid, bermalas-malasan atau tidur melainkan berusaha meraih karunia Allah yang berlimpah di muka bumi.
Oleh karenanya, kita sebagai muslim yang yakin bahwa Allah Maha Kaya sudah sewajarnya bekerja keras untuk meraih rezeki dengan cara-cara yang baik. Selebihnya, ketika kita sudah memperoleh rezeki yang dicari, maka seharusnya kita memanfaatkan rezeki itu dengan sebaik-baiknya. Misalnya, dengan rezeki lebih yang kita dapat dari Allah kemudian kita bagikan kepada orang lain yang membutuhkan, insyaAllah ini akan menjadi amalan yang tidak pernah putus pahalanya meski kita sudah meninggal dunia.
Dari Ibnu Umar Radhiyallah ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaii wasallam bersabda, “Manusia yang paling dicintai Allah adalah mereka yang paling memberikan manfaat bagi manusia lainnya. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya.” (HR. Thabrani)
Kebanyakan kita terlalu khawatir pada sesuatu yang sebenarnya sudah dijanjikan Allah Ta’ala untuk kita. Seberapa besar rezeki kita itu sudah dijamin oleh Allah Ta’ala. Tinggal ikhtiyar kita untuk menjemputnya saja yang harus dioptimalkan. Padahal yang belum tentu dijamin oleh Allah Ta’ala adalah apakah setelah kita meninggalkan dunia ini nantinya kita bisa masuk surga apa tidak. Apakah semua amal kita diterima oleh Allah Ta’ala atau tidak. Harusnya hal ini yang harus kita pikirkan dan persiapkan dengan baik. Sebuah perjalanan panjang setelah kematian yang merupakan kehidupan hakiki, tidak lagi fana seperti di dunia ini. Semoga Allah senantiasa membimbing kita menuju jalan yang diridhoiNya.



