TERGESA-GESA MEMBERIKAN FATWA SEBELUM MATANGNYA ILMU
Oleh: Ust. Muhammad Nur
(Staf Pengajar Ponpes Miftahul Huda Sambi)
Di antara yang harus dihindari oleh para pencari ilmu hendaknya tidak mendahului suatu urusan sebelum menguasainya. Maka janganlah tergesa-gesa memberi fatwa sebelum menjadi ahli dalam berfatwa dan sebelum terhimpun sarana-sarana yang wajib dimiliki sebelum berfatwa. Dan janganlah tergesa-gesa mengarang sebelum matang dan ahli dalam hal tersebut. Dan janganlah tergesa-gesa memberi pelajaran dan naik di atas mimbar sebelum mempersiapkan hal tersebut.
Maka barang siapa tergesa-gesa terhadap sesuatu sebelum masanya akan berakibat diharamkannya sesuatu itu darinya. Dan permisalan hal tersebut seperti orang yang menang sebelum berperang dan menjadi syaikh sebelum berlalu pada tingkatan murid. Atau mereka yang menjadi syaikh tanpa bersusah payah mencari ilmu dari para ahlinya.
Bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
وَمَنْ تَقَوَّلَ عَلَىَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنِ اسْتَشَارَهُ أَخُوهُ الْمُسْلِمُ، فَأَشَارَ عَلَيْهِ بِغَيْرِ رُشْدٍ، فَقَدْ خَانَهُ، ومن أفتي بِغَيْرِ ثَبْتٍ فَإِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ
“Barang siapa yang mengatakan atasku apa-apa yang belum aku katakan hendaknya ia siapkan tempat duduknya dari api neraka, dan barang siapa dimintai saudaranya muslim untuk memberikan petunjuk kemudian ia tunjukkan atasnya dengan selain petunjuk maka ia telah menghianatinya, dan barang siapa di mintai fatwa dengan sebuah fatwa tanpa satu kejelasan maka sesungguhnya dosanya atas orang yang berfatwa”. (HR. Al-Bukhari dalam shahih adabul mufrad)
Maka barang siapa yang dimintai fatwa wajib baginya untuk menjawab dengan jawaban yang tepat dan benar. Dan jika ia menjawab dengan jawaban yang tidak dia ketahui benar atau salahnya, maka baginya dosa yang besar.
Kadang penyimpangan itu terjadi ketika seseorang tergesa-gesa untuk menyampaikan ilmu, padahal ia belum memiliki kemapanan. Dan saat dimana datang pertanyaan secara mendadak, ia berusaha menjawab dengan jawaban yang diperkirakan benar. Ia tidak mau untuk mengatakan “saya tidak tahu”. Akhirnya terjadilah da’i yang sesat dan menyesatkan. Dan peristiwa ini akan banyak terjadi diakhir zaman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain.” (HR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengkiaskan (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Allah halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengkias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan.” (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi).
Dari Abi Laila berkata, “Aku mengetahui 200 dari sahabat Anshar di antara sahabat Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam”. Tidaklah di antara mereka seseorang yang ketika ditanya sesuatu kecuali senang bahwasanya cukup dijawab saudaranya, dan tidaklah membicarakan satu pembicaraan kecuali senang kalau saudaranya telah membicarakannya.
Dan dari Na’im bin Hammad berkata : “Aku mendengar Ibnu Uyyainah berkata : Manusia yang paling berani terhadap fatwa adalah mereka yang sedikit ilmunya”.
Ketahuilah bahwa ilmu itu tidak cukup dipelajari setahun atau dua tahun. Tapi membutuhkan waktu yang panjang. Dana yang tidak sedikit. Kepenatan dan kecapekan dalam menempuhnya. Hal ini sebagaimana yang sampaikan para salaf:
Imam Yahya bin Abi Katsir (wafat tahun 132 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu tidak bisa diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan.” [Diriwayatkan oleh Muslim (no. 612 (175)) dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/384, no. 553).].
Imam Ibnul Madini (wafat th. 234 H) Rahimahullah mengatakan, “Dikatakan kepada Imam Asy-Sya’bi, ‘Dari mana Anda peroleh semua ilmu ini?’ Beliau menjawab, ‘Dengan tidak bergantung pada manusia, menjelajahi berbagai negeri, bersabar seperti sabarnya benda mati, dan berpagi-pagi mencarinya seperti berpagi-paginya burung gagak.’” [Tadzkiratul Huffaazh (I/64).].
Kecuali jika seseorang mendapatkan hadits atau ayat yang jelas maknanya tanpa ada kesamaran, maka boleh seseorang untuk menyampaikan hadits atau ayat tersebut kepada ummat. Semoga Allah mudahkan kita dalam menuntut ilmu hingga matangnya ilmu dapat kita miliki. Aamiin.